Minggu, Juni 30, 2013

Drama Tanpa Sandiwara

Ada target yang gw buat yaitu gw harus berdiri di 5 pemancar RRI. Bukan dalam artian gw benar-benar berdiri di atas pemancar dengan ketinggian yang bikin gw gemetar. Tapi mengunjungi RRI berbeda entah karena tugas atau hanya sebatas liburan. Lampung, Palembang, Jambi merupakan 3 pemancar yang sudah gw datengin dan yang ke empat adalah RRI Surakarta.

Sempat menolak ketika kasi siaran menugaskan gw berangkat ke Solo untuk ikut diklat sandiwara radio. Bukan lantaran malas tapi sudah terlanjur punya banyak janji yang bertepatan dengan waktu pelaksanaan selama 2 minggu itu. Selain itu juga sama halnya dengan kapuslitbangdiklat yang pada awalnya terlalu meng-under estimated kan peserta diklat, gw juga begitu kurang tertarik dan terlalu menganggap kurang penting diklat sandiwara radio untuk gw ikutin. Tapi ternyata sekali lagi sama halnya dengan kapus gw terlalu dini menilai diklat ini.

Berangkat dengan sedikit semangat namun lebih banyak rasa bangga karena merasa gw adalah utusan terbaik dari daerah adalah modal yang gw bawa ke kota yang sama sekali nggak pernah kepikiran untuk gw datengin. Berinteraksi dengan 21 orang dari 20 stasiun RRI berbeda ngebuat gw akhirnya sadar siapa gw sebenernya. Bahkan pada awalnya sempat timbul rasa pesimis apakah gw bisa ngimbagi mereka yang punya pemikiran dan kapasitas luar biasa ini?. Dari mereka lah banyak ilmu sampingan yang bisa gw ambil.

Bukan bagaimana gw sekarang sedikit lebih paham tentang cara memproduksi sandiwara radio bermutu yang bakal gw bagi, karena gw yakin semua peserta saat ini sudah dapat hal itu semua. Tapi banyak ilmu lain yang bisa gw pelajari dari acara ini.

Waktu 2 minggu terasa amat kurang untuk bisa belajar banyak di sini. Meski pada awal-awal rasa jenuh ada ketika peserta dicekoki teori-teori lama dengan waktu istirahat yang sebentar. Keseruan mulai muncul ketika gw dan para peserta turun lapangan ke beberapa daerah di Solo yang menjadi landmark kota seni ini. Obsevasi harus gw lakukan untuk mencari bahan drama yang bisa gw angkat menjadi sebuah sandiwara yang bagus. Di hari itu dimulai kerja lembur bagi kami para peserta diklat. Bahkan sebagian peserta harus tetap berkutat dengan tugasnya hingga lewat tengah malam. Ini berimbas pada kondisi fisik peserta yang mulai mencari balsem dan jamu pengusir angin.

Sabar adalah hal utama yang gw pelajari di sini. Bukan hanya sabar menahan letih dan kantuk yang selalu ada dalam setiap sesi kelasnya tapi juga sabar menahan ego gw sendiri. Menilai diri gw cukup punya ide brilian tapi harus menerima kenyataan ide itu ditolak mentah-mentah adalah hal sulit. Dari sini gw bisa liat bahwa di luar sana bertebaran orang-orang luar biasa yang jauh lebih baik dari gw yang berani secara tegas menolak dengan argumen dan ide yang tepat. bekerja dengan banyak kepala membuat lebih banyak berfikir bagaimana bisa mengakomodir semua ide yang masuk. Tapi dengan satu tujuan, hal ini malah mempermudah meski kerjanya agak sedikit lama dibanding kerja sendiri.

Banyak yang bilang ketika masuk dunia kerja persetan dengan proses karena penilaian ada pada hasil yang kita buat. Karena berproses adalah kampanye mahasiswa senior dan dosen untuk anak SMA yang baru masuk ke perguruan tinggi. Ranahnya hanya pada pendidikan bukan dalam aplikasi kerja. Tapi pengalaman diklat ini negbuat gw coba untuk kembali menyangkal hal itu. Bersyukur kami dalam kelompok sepakat untuk memulai step by step dari proses yang memang harus dijalanin. Meski agak sedikit repot tapi gw bisa menikmatinya dan hasilnya cukup memuaskan dan membanggakan untuk gw sebagai pemula.

Bekerja dengan banyak tekanan terutama waktu dan fasilitas ngebuat gw kembali tersadar itulah konsekuensi kerja di media. Kita di tuntut untuk tetap fokus dan tetap kreatif seberat apapun kondisi kita. Selama 2 hari berkutat dengan naskah yang nggak kelar-kelar karena harus sering merombak jalan cerita, terkukung di studio produksi seharian, bahkan sebagian kami harus mencuri waktu meski hanya 5 menit untuk sekedar memejamkan mata atau merebahkan badan di lantai studio. Ini adalah drama tersendiri yang gw lewatin.

Dan dibagian akhir meski klise tapi inilah hal terbesar yang gw dapet, rasa kekeluargaan. Walau hanya 2 minggu gw rasa ikatan gw dengan mereka cukup kuat. Saling ingatkan untuk bangun tidur supaya nggak telat meskipun malam sebelumnya kami juga yang saling membuat tidur lebih malam. Entah sekedar ngobrol atau keluar cari makan ke angkringan. Saling memperhatikan kesehatan peserta. Beberapa peserta menjadi langganan ke apotik sekedaar untuk membeli titipan obat para peserta, bahkan ada yang sampai ke stasiun balapan hingga lewat jam 12 malam untuk mencari warung yang masih buka. Ini semua indah.

Terima kasih untuk kesempatan yang luar biasa ini, bisa menjadi bagian dari diklat yang sejak tahun 1997 tidak pernah diadakan hingga tahun 2013 dan kami sebagai angkatan pertamanya. Terima kasih untuk kalian peserta diklat sudah menjadi guru bagi gw dengan ilmu hidup mungkin tanpa sadar kalian sudah mengajarkan gw.

Sandiwara radio sekali di udara tetap di udara!!!!




300613 19:18 biasanya jam segini baru kelar makan malam di hotel